Menteri Riset dan Teknologi
(Menristek) Suhana Suryapranata mengatakan, peneliti perlu diingatkan
untuk juga peduli terhadap kehidupan sesudah di dunia.
"Peneliti
juga perlu diingatkan akan kehidupan di akhirat. Dunia ini tidak lepas
dari kehidupan akhirat, jangan hanya memikirkan duniawi saja," ujar
Menristek saat membuka Kajian Keilmuan dan Keislaman Membaca Ayat
Kauniyah di Pekanbaru, Sabtu.
Ia mengakui saat ini banyak
peneliti yang cerdas dan sekuler. Maka, ia menyambut positif acara yang
dilakukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Riau mengajak
kembali kaum intelek untuk membicarakan iptek di masjid.
"Seperti
dulu, dimana di masjid membicarakan Iptek dan Imtak. Ini salah satu
upaya agar jangan sampai terjadi dikotomi. Ada integrasi antara ayat
Qauliyah dan Kauniyah," papar dia.
Ayat Qauliyah yang
dijadikan pedoman hidup dan juga ayat Kauniyah atau yang membicarakan
alam semesta menjadi pedoman membangun dunia. Dengan demikian, katanya,
akan tercipta seorang muslim yang mempunyai kapasitas, profesional dan
integritas.
"Saya pikir bagus jika masjid kembali menjadi pusat peradaban, sama seperti zaman Rasulullah dulu," tukas dia.
Disinggung
mengenai masih banyaknya peneliti asal Indonesia yang menetap di luar
negeri, Menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan
pihaknya terus berupaya mencari peluang melibatkan swasta berkolabarasi
dan membangun negeri.
"Begitu juga dengan gaji ataupun
tunjangan yang diberikan. Pemerintah berupaya memberi hal yang sama.
Namun tentunya bertahap, karena saat ini kita tengah melakukan
reformasi birokrasi," jelas dia.
Ketua ICMI Orwil Riau Tengku
Dahril mengatakan, pihaknya terus berupaya melakukan berbagai kajian
yang nantinya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Tentunya
kita berharap kalau kegiatan ini tidak hanya berlangsung sekali saja,
namun bisa berlangsung terus menerus. Dengan demikian, nantinya akan
ada hasil yang akan bermanfaat bagi masyarakat," ujarnya.
Pekanbaru (ANTARA) -
REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE--"Kaki kami seperti berada di dua tempat," begitu kata Jamila Hussein, seorang akademisi yang kini menekuni studi Islam di University of Technology, Sydney, kepada Sydney Morning Herald, harian terkemuka negeri itu. Ia menjadi mualaf sejak 1988.
Di satu sisi, mereka yang menjadi Muslim dianggap "keluar" dari akarnya, masyarakat kulit putih Australia. Padahal, mereka lebih pe-de berada dalam komunitas ini ketimbang komunitas Muslim. Masalah etnis dan bahasa, katanya, kerap menjadi kendala. "Namun di masyarakat asal kami, kami seakan terbuang. Cenderung dihambat oleh persepsi dan stereotip negatif tentang Islam," ujarnya.
Berbeda dengan di Inggris yang masyarakatnya lebih terbuka dan menghargai perbedaan, tak demikian dengan Australia. Bagaimana mereka melangkah, bergantung pada diri mereka sendiri untuk menghadapi.
Itu sebabnya, kata Hussein yang kini menjadi akademisi di almamaternya, dua jenis mualaf di Australia: menjadi sangat fundamentalis dan cenderung ekstremis atau yang rasional dan bertahap seperti dirinya.
Ia beruntung, karena kini bertemu dengan mualaf senasib -- yang dicampakkan lingkungannya namun tak sepenuhnya diterima komunitas Muslim -- dan membentuk sebuah kelompok kajian. Mereka bertemu di Auburn setiap malam Jumat untuk belajar agama dan saling curhat serta menemukan jalan keluar bagi masalah masing-masing.
Menurutnya, menjadi Muslim di Australia tak semudah membalikkan telapak tangan. ''Tiba-tiba Anda bukan bagian dari masyarakat Anglo mainstream, namun Anda mungkin tidak merasa sepenuhnya diterima oleh masyarakat Muslim setempat,'' katanya lagi.
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Silma Ihram, mantan kepala sekolah Noor al-Houda Islam College, yang juga seorang mualaf. Ia menganut Kristen pada usia 15 tahun. Pada usia 23 tahun, ia bekerja di Indonesia dan berkesempatan mempelajari Islam. Pulang ke negaranya, ia memilih jadi mualaf.
"Di Australia, mualaf adalah minoritas di antara minoritas," ujarnya. Ia sendiri mencoba berbaur dengan berbagai komunitas.
Sensus 2006 mengungkapkan bahwa 1,7 persen penduduk Australia adalah Muslim, dan 39 persen di antaranya lahir di Australia.
Barangkali, "bingung budaya" inilah yang membuat jumlah mualaf di Australia tak sebanyak Inggris. Professor Marion Maddox, direktur Pusat Penelitian Inklusi Sosial di Macquarie University mengatakan di banding Islam, Buddhisme adalah agama yang paling menarik minat publik Australia.
''Pada tahun 2006 terdapat pertumbuhan jumlah umat Islam, tetapi yang dapat dijelaskan oleh imigrasi dan meningkatkan alami. Namun peningkatan jumlah umat Buddha adalah karena perpindahan agama," ujarnya
Tiada ulasan:
Catat Ulasan